Tuesday, October 18, 2016

Meningkatkan Bystander CPR, dimulai dari mana?




     Sebuah peristiwa tragis yang mirip seperti adegan film action terjadi di Jakarta, 10 September 2013 silam. Malam itu seorang polisi bernama Bripka Sukardi ditembak oleh kawanan tak dikenal tepat ditengah-tengah Ibu Kota Negara Indonesia, Jakarta, seusai melaksanakan tugas jaga malam-nya. Berita ini kemudian menjadi pemberitaan nasional di berbagai media massa karena tempat kejadian perkara yang berada tepat di depan gedung KPK yang tersohor. Saat itu Bripka Sukardi sedang mengawal truk bermuatan besi. Entah dari mana secara tiba-tiba dua pengendara sepeda motor menyalip truk tersebut dan langsung menembaki Bripka Sukardi sebanyak tiga kali. Tak ayal Bripka Sukardi-pun langsung jatuh dari sepeda motornya (MetroTVNews, 2013).

            Yang menjadi perhatian setelahnya adalah ternyata setelah penembakan tersebut, Bripka Sukardi masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Menurut laporan saksi mata, korban tidak langsung tewas setelah terkena tiga tembakan di bagian dada dan perut. Karena bantuan terlambat datang Bripka Sukardi pun mengembuskan napas terakhir (MetroTVNews, 2013). Begitu pula laporan dari Laksoho untuk Kompas,   “Wartawan yang bertugas di Gedung KPK, Mufti, menyatakan mendengar suara tiga tembakan dari dalam gedung dan berlari keluar menuju tempat polisi itu terjatuh. Ia melihat polisi terkapar bersama sepeda motornya. Dari tanda pengenal di seragam yang dikenakan, polisi tersebut dikenali bernama Sukardi. Menurut Mufti, saat itu korban masih bernapas” (Kompas, 2013).


            Menjadi catatan sendiri bagi kita petugas medis terutama yang bekerja di layanan Emergency atau gawat darurat bahwa di Jakarta yang tercatat sebagai Ibu Kota Negara Indonesia yang dianggap memiliki dukungan pelayanan kesehatan yang terbaik ternyata tidak bisa memberikan layanan pre-hospital yang optimal atau paling tidak standart untuk dapat menyelamatkan nyawa. Jika di Ibu Kota saja penangananya sudah terlambat, bagaimanakah dengan yang di daerah? Bagaimanakah dengan daerah terpencil yang puskesmas saja hanya ada satu di dalam sebuah pulau? Atau yang memerlukan waktu berjam-jam untuk sampai ke pelayanan kesehatannya?.
Masalah ini senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh E Pitt dan Pusponegoro (2005). Dikatakan bahwa Sistem Prehospital di Inonesia memang kurang optimal dan kelemahan ini terjadi hampir di setiap aspek penanganan mulai dari kurang-nya sarana prasarana, sumber daya petugas hingga sistem pelayanan terpadu untuk pre-hospital yang tidak berjalan dengan semestinya. Banyak tantangan yang ada di negara yang luas, beraneka ragam dan sedang berkembang ini. Mengorganisasi sistem prehospital pada kota besar saja sudah cukup sulit belum lagi pada kota kecil atau bahkan daerah terpencil (E Pitt dan Pusponegoro, 2005).
Padahal kualitas hidup penderita pasca serangan jantung akan sangat bergantung pada apa yang telah dia dapatkan pada periode Pre Hospital Stage bukan hanya tergantung pada bantuan di fasilitas pelayanan kesehatan saja. Begitu cedera terjadi maka berlakulah apa yang disebut waktu emas (The Golden periode). Setiap detik sangat berharga bagi kelangsungan hidup penderita. Semakin panjang waktu terbuang tanpa bantuan pertolongan yang memadai, semakin kecil harapan hidup korban (Irawan, 2013).Dengan tidak adanya resusitasi cardiopulmonary (CPR) dan atau defibrilasi listrik pada penderita henti jantung, seperti tidak adanya aktivitas kelistrikan jantung (asistole), maka akan diikuti dengan kematian dalam hitungan menit (Vaillancourt & Stiell, 2004).


Kenapa masyarakat tidak mau melakukan CPR?
Terdapat beberapa alasan mengapa masyarakat tidak mau belajar CPR. Mereka yang tidak ikut pelatihan biasanya kurang memiliki ketertarikan, kompleksitas dari prosedur CPR, ketidakmauan menghadiri kelas pelatihan, dan keterbetasan fisik. Seingkali pelatihan CPR sangat lama dan tidak memberikan informasi yang relevan. Lebih lanjut, mereka yang mengikuti pelatihan kadang gagal untuk belajar, tidak mengingat atau kurang percaya diri atau takut untuk melakukan CPR secara benar. Survei membuktikan bahwa beberapa peserta pelatihan takut melakukan karena tidak mau mengakibatkan trauma lebih lanjut untuk korban. Terakhir isu untuk kemudian dimeja-hijaukan karena mungkin salah dalam menjadi aktor penghalang sendiri (Nichol G, 2008). Permasalahan lain adalah ketakutan akan penyakit yang dapat menular melalui mulut ke mulut saat melakukan CPR. Di Singapura sendiri, instruktur CPR 2,7 kali lebih besar daripada orang biasa takut akan penyebaran penyakit (Fong YT, 2010).

Bagaimana meningkatkan angka bystander CPR?
Review baru baru ini oleh Vaillancourt, Stiell dan Wells melihat pada usaha untuk meningkatkan tingkat bystander CPR.  Penulis menyarankan bahwa masyarakat akan mau menyeleaikan pelatihan CPR apabila mereka mengerti hasil daripada CPR dalam keadaany nyata penyelamatan nyawa. Salah satu temuan lain adalah mereka akan lebih mau untuk melakukan CPR apabila emergency dispatcher mau memberikan arahan kepada mereka melalui telephone. Strategi lain yang disarankana adalah untuk memotivasi lebih banyak orang untuk mengikuti pelatihan melalui peran media massa dan iklan tentang hasil yang didapat dari pelatihan CPR. Teknik lain adalah dengan waktu pelatihan pada menekin dan kelas CPR dipersingkat agar mereka yang megikuti pelatihan tidak merasa jenuh tapi tetap perlu diberikan standart performa sebelum mereka dinyatakan lulus (Vaillancourt, 2008).
Sedangkan untuk permasalahan mouth-to-mouth ventilation yang ditakutkan dapat menyebarkan penyakit ke penolong atau penderita, berbagai argumen telah menyatakan bahwa masih lebih baik melakukan CPR tanpa ventilasi daripada tidak sama sekali. Hal ini bahkan dikemukakan oleh American Heart Association sendiri sebagai upaya untuk meingkatkan jumlah bystander CPR. Penelitian pada manusia tentang hasil hands-only CPR ini bervariasi. Beberapa penelitian menemukan bahwa hasilnya lebih baik daripaa CPR konvensional (SOS-KANTO, 2007), namun beberapa mengatakan hasilnya justru lebih buruk). Tapi semua penelitian tersebut mengatakan bahwa hands-only CPR masih lebih baik daripada tidak melakukan sama sekali, walaupun bila dilakukan dengan teknik yang tidak standart (Van Hoeyweghen, 1993).

Model  Pelayanan Bystander CPR berbasis Komunitas
Salah satu permasalahan yang ada dalam sistem volunteer pada managemen pre-hospital di dunia adalah masalah biaya. Membutuhkan biaya yang besar bagi negara untuk mangatur, membiayai emergency volunteer agar menghasilkan kinerja yang diharapkan. Sedangkan angka pasien gawat darurat semakin meningkat setiap tahunnya sehingga sistem volunteer dengan kendali pemerintah ini menjadi tidak efektif lagi (Chalekruaa dkk, 2011).
Managemen berbasis komunitas inilah yang menjadi harapan. Managemen berbasis komunitas menyesuaikan dengan perkembangan kualitas masyarakat dengan tujuan akhir untuk meningkatkan kemampuan manusia dan juga kemampuan masyarakt lokal (Phlainoi, 2006).  Masyarakat dalam komunitas nantinya akan percaya pada kebenaran-kebenaran dalam merawat pasien gawat darurat. Mereka akan berpegangan pada nilai nilai mereka, pengalaman mereka akan situasi gawat darurat sebelumnya. Orang-orang ini dengan inisiatifnya sendiri menyeleksi, mengkaji, mencocokkan dan mendefinisikan pekerjaan untuk orang yang akan mereka pilih sebagai emergency volunteer (Chalekruaa dkk, 2011).

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Facebook Themes